|
Nurcholish Madjid Islam Sebagai Agama Hibrida
Saya baru saja datang dari Los Angeles dan Berkeley untuk ikut serta dalam kegiatan yang menyangkut Indonesia di kedua Universitas, UC Berkeley dan UCLA. Ada perasaan campur-aduk dari sudut pandang orang luar terhadap keberagamaan bangsa Indonesia. Di satu pihak ada harapan-harapan, di lain pihak ada kecemasan-kecemasan. Sekarang persoalannya adalah mewujudkan dan memperbesar harapan itu dan mengurangi kecemasan, dan kalau bisa menghilangkannya sama sekali.
Misalnya tentang masalah Islam. Indonesia kini sedang dilanda oleh beberapa gejala yang oleh orang-orang Barat didentifikasi sebagai ekstrimisme atau fundamentalisme. Mereka sangat khawatir dengan gejala ini. Tapi ketika kita ingatkan bahwa semua itu terjadi dalam kancah civil liberties, kecemasan mereka berkurang. Semua gejala yang terjadi akhir-akhir ini adalah bagian dari kebebasan pembahasan atau wacana bebas. Dengan adanya wacana bebas ini, bukan hanya kejelasan-kejelasan yang diperoleh, tapi juga akan terjadi proses-proses penisbian, relatifisasi, bahkan lebih radikal dari itu adalah proses devaluasi.
Misalnya jihad. Jihad sekarang merupakan suatu kata-kata yang menjadi bagian dari wacana umum. Di dalam diskusi-diskusi tentang jihad, kesuburan untuk membuat argumen dipunyai oleh mereka yang baca. Bagi yang tidak membaca, sekalipun sangat rajin menggunakan jihad sebagai suatu retorika, akhirnya kehilangan landasan dan keseimbangan. Akibatnya, perkataan jihad yang semula sedemikian menakutkan tetapi kemudian mengalami kejelasan. Dan dengan adanya kejelasan itu, maka terjadi devaluasi terhadap makna jihad sebagai retorika politik, dan karenanya kemudian menjadi isu harian semata.
Demikian juga fenomena keagamaan, terutama Islam, yang pada tahun 1980-an sering disambut dengan suatu antusiasme, bahkan sedikit banyak itu semacam teriakan tepuk tangan, yaitu apa yang disebut dengan kebangkitan Islam. Tetapi ketika itu menjadi maslah harian, maka terjadi semacam relativisasi.
Dunia Islam sekarang ini, seperti ditulis oleh para ahli, mengalami apa yang disebut predicament, semacam krisis atau kegoyahan. Salah satu indikasinya antara lain adalah fungsi dari perasaan konfrontatif dengan Barat. Saya sebut "perasaan," karena konfrontasi sebetulnya tidak ada. Yang ada adalah persepsi sebagai akibat dari pengalaman sejarah seperti misalnya yang secara retorika sering diulang: perang salib, penjajahan, dan lain-lain. Maka hal itu mengendap di dalam kesadaran umat Islam, atau bawah sadar umat Islam, sehingga memunculkan gejala yang sepertinya anti-Barat.
Hal itu sebetulnya merupakan suatu anomali, karena Alquran sendiri mengindikasikan, ketika dunia terbagi menjadi Roma (Barat) dan Persia (Timur), orang Islam memihak Roma, bukan memihak Persia. Begitu juga, ada surah al-Rum yang memberikan kabar gembira kepada pengikut Nabi Muhammad bahwa kekalahan Roma oleh Persia, yang sempat membuat orang-orang Mekkah, musuh Nabi, bergembira, akan disusul dengan kemenangan, dan itu terbukti. Sekalipun secara geografis Arabia langsung berhubungan dengan Persia, bahkan di beberapa daerah di Jazirah Arab sempat mengalami Persianisasi, namun batin orang Islam atau pengikut Nabi sesungguhnya lebih dekat dengan orang-orang Roma, karena ada kaitannya dengan agama Nasrani.
Potensi pertentangan itu disadari oleh sarjana semacam Simon van Den Berg, penerjemah kitab polemisnya Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, yang sangat terkenal dan banyak mempengaruhi cara berpikir umat Islam. Di sini ada hal yang patut direnungkan. Dalam pengantarnya, Simon van Den Berg mengatakan bahwa polemik ini adalah salah satu contoh yang orang Barat sendiri tidak menyadari mengenai Islam. Dia bilang: "Kalau benar kita boleh mengatakan bahwa budaya Barat pada hakekatnya adalah Maria Sopra Minerva --agama Kristen disesuaikan dengan pola budaya setempat-- maka masjid (Islam) pun didirikan di atas puing-puing kuil Yunani. Sehingga apa yang disebut dengan ilmu kalam, theologia, adalah adaptasi paling tidak dari segi metodologidari cara berpikir para filsuf Yunani, terutama Aristoteles.
Karena itu, kalau orang-orang yang disebut ahlussunnah waljamaah mengklaim sebagai pengikut al-Asyari, di dalam definisinya mengenai Tuhan melalui perumusan sifat 20, maka sifat 20 itu sesungguhnya sangat Aristotelian. Di sana kita lihat ada perkataan "wajib," "boleh," dan "mustahil." Sehingga kalau Tuhan itu disebut abadi (qadim), maka rumusannya menjadi: secara akal Tuhan itu harus qadim, harus alpha, artinya tidak ada permulaannya, dan mustahil Tuhan itu jadid, mustahil Tuhan itu baru, dalam arti didahului oleh ketiadaan. Jadi perkataan "wajib" dan "mustahil" itu sudah menunjukkan logika Aristoteles. Dan itu sekarang menjadi bagian yang sangat sentral dalam wacana kalam di kalangan ahlussunnah.
Menurut Ibn Taimiyah, sifat 20 itu bidah. Benar bahwa Tuhan itu qadim, tapi, kata Ibn Taimiyah, "so what?" Secara rasional itu benar, tapi apa fungsinya? Dalam sifat 20 itu, tidak dimasukkan sifat ghafur (maha pengampun) dan sifat wadud (kasih sayang). Alasannya karena tidak mungkin dirumuskan dengan logika Aristoteles: bahwa "Tuhan itu secara akal wajib pengampun" tak bisa, tidak logis. Itu hanya kita terima karena Tuhan mengatakan begitu tentang dirinya. Tapi bahwa Tuhan itu ada dari semua, tanpa permulaan, itu secara akal bisa dimengerti.
Budaya Islam bersifat amalgam, atau hibrida dari berbagai budaya. Lihat saja masjid, yang paling sederhana. Di Pondok Indah ada masjid yang orang sering menyebutnya sebagai Masjid Biru. Tidak ada mihrabnya dan tidak ada ruang kecil untuk imam di depan. Mengapa? Karena arsiteknya, Ismail Sufyan, menganggap bahwa mihrab adalah tiruan dari gereja. Tapi kalau konsekwen, maka mestinya tidak ada menaranya. Sebab menara adalah adaptasi dari arsitektur Persia, arsitektur kaum Majusi.
"Manarah" artinya tempat api, karena orang Majusi, kaum Zoroaster, memahami Tuhan sebagai Zat yang tak bisa digambarkan. Maka akhirnya mereka simbolkan dengan api. Api adalah suatu substansi yang tidak bisa dipegang. Oleh karena itu orang Majusi kerap dianggap menyembah api. Untuk memperkuat kesucian api, maka api itu ditempatkan di bangunan yang tinggi, namanya manarah, tempat api, yang kemudian menjadi "menara". Dalam uraian tentang maulid di kampung-kampung, biasanya dikatakan: ketika jabang bayi Muhammad lahir, menara-menara orang Majusi itu runtuh.
Jadi, pada waktu umat Islam berkembang begitu rupa, suara azan harus mencapai radius yang seluas-luasnya, maka mereka terpikir untuk meminjam arsitektur Majusi ini, yaitu azan dari tempat tinggi. Di zaman Nabi, azan dilakukan cuma di atas atap. Bilal, muazin Nabi, hanya naik ke atas atap yang pendek. Tapi pada masa perkembangan Islam, menara menjadi bagian dari budaya Islam. Tapi itu tak ada salahnya, karena memang budaya tak mungkin eksklusif monolitik.
Yang murni Arab tidak ada. Di dalam Alquran banyak sekali bahasa-bahasa lain. Menurut seorang ulama Arab yang hidup 1100 lalu, dalam bukunya Al-Muarrab, banyak sekali istilah-istilah yang sangat sentral dalam Islam yang berasal dari bahasa lain. Misalnya shirath; al-shirath al-mustaqim, jalan yang lurus. Shirath ternyata dari Bahasa Latin "strada". Juga al-qisth (keadilan). Qisth ternyata berasal dari bahasa Yunani, yang setelah diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi just, sebab perubahan dari Q ke G atau J itu biasa. Maka qisth itu adalah just dalam Bahasa Inggris. Qisthash itu adalah justice. Jadi jangan dikira bahwa bahasa Arab dalam Alquran itu semuanya Arab murni.
Di dalam Alquran juga ada Bahasa Melayu: kafur. Dalam suatu lukisan "nanti kita di surga akan diberi minuman yang campurannya kapur" (wayusqauna biha kasan kana mizajuha kafura). Yang dimaksud di situ adalah kapur dari barus, yang saat itu sudah merupakan komoditi yang sangat penting di Timur Tengah, bahkan ada indikasi sejak zaman Nabi Sulaiman.
Waktu itu yang disebut kapur barus tidak digunakan untuk kepinding seperti yang sekarang kita lakukan, tapi sebagai tonic. Ia dimasak menjadi tonic, menjadi minuman yang sangat menyegarkan, dan harganya mahal sekali karena harus diimpor dari Barus. Maka "kapur" kemudian menjadi simbol dari sesuatu yang sangat mewah dan sangat menyenangkan, sehingga di dalam Alquran dipakai untuk ilustrasi bahwa nanti minuman orang yang di sorga adalah minuman dengan campuran kapur. Dan banyak lagi yang seperti itu.
Jadi sebetulnya tidak ada budaya yang monolitik. Semuanya hibrida.
Tasawuf Mendorong Keberagamaan Inklusif
Ada perkembangan menarik di seputar kegairahan masyarakat perkotaan terhadap sufisme. Trend spiritual yang positif ini urgens untuk menepis formalisme keberagamaan masyarakat kita. Demikian analisis Budhy Munawar-Rachman, Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina. Hanya saja, saran Budhy, para penggiat tasawuf diharapkan tidak terjebak pula pada tataran kesalihan simbolik ini. Pada sisi lain, tasawuf juga lebih terbuka menerima tafsir kebenaran dari mana pun datangnya. Inilah yang menurut Budhy menjadi potensi pengembangan kehidupan beragama yang lebih toleran dan inklusif. Berikut petikan wawancara Budhy Munawar-Rachman dengan Ulil Abshar-Abdalla) dari Kajian Utan Kayu di Studio Kantor Berita Rradio 68H (14/2/02). Berikut Petikannya:
Ulil : Dewasa ini muncul banyak kelompok tasawuf, dan banyak tokoh yang menjadi pembimbing di dalamnya, seperti Kang Jalaluddin Rahmat, Dr. Aqil Siraj, dan lain-lain. Anda kan melakukan riset tentang perkembangan ini. Kenapa di kota-kota ini ada kegairahan untuk masuk ke dalam kelompok tasawuf ini?
Sebenarnya gejala yang kita lihat di kota-kota besar seperti di Jakarta dan sebagainya adalah merupakan gejala yang tidak berdiri sendiri. Ini merupakan fenomena global. Pada tingkat ini, kita melihat adanya kebangkitan spirituallitas dan mistik. Munculnya perkembangan gerakan dan pemikiran berkaitan dengan yang biasa disebut new age dan sebagainya. Dalam konteks Islam, yaitu munculnya tasawuf perkotaan, neo sufisme, dan macam-macam nama yang berkaitan dengan fenomena ini. Ini memang berkaitan dengan kebutuhan kerohanian dari masyarakat kota yang rupanya tidak menjadi sekuler. Seperti yang pernah dikatakan oleh sosiolog bahwa masyarakat akan meninggalkan agama, tapi yang terjadi bukan meninggalkan agama tetapi memperdalam dari agama.
Ulil : Jadi agama bukan terpinggirkan dari masyarakat akan tetapi justru mendapatkan tempat kembali. Kenapa tasawuf menjadi pilihan dan bukan pilihan-pilihan yang lain?
Pilihan memang banyak. Misalnya pada awal tahun 1970-an Harvey Cox menulis The Secular City dan ia sangat yakin, pada awal 1970-an agama sebentar lagi akan ditinggalkan orang. Tapi pada tahun 1980-an ia menulis revisi pada buku Religion in the Secular City, dan pada buku tersebut ia mengemukakan bahwa ada kebangkitan agama dengan fenomena teologi pembebasan, sebenarnya itu salah satu teologi pembebasan. Ekspresi lain yang sekarang banyak ditulis oleh orang, misalnya Fritjof Capra menulis Tao of Fisic tapi sebenarnya itu satu fenomena yang menandai munculnya gerakan ini yaitu mistisisme.
Ulil : Kalau dalam kontek Indonesia, kenapa pilihannya sufisme?
Mungkin karena ada kejenuhan berkaitan dengan keberagamaan yang formalistis.
Ulil : Kalau tidak salah, pada pertengahan 80-an atau awal 90-an Naisbitt pernah menulis bahwa agama resmi semakin tidak disenangi orang, dan orang lebih suka kepada agama yang tidak terorganisir, dan itu bentuknya adalah spiritualitas atau sufisme. Kenapa begitu?
Kalau mengikuti Naisbitt, dia membayangkan new age, yang tidak punya kaitan dengan agama dalam arti formal. Naisbitt berkata Organized Religion No, Spiritulity Yes, tapi yang terjadi Organized Religion Yes, Spirituality Yes. Itu fenomena yang kita lihat, terutama di Indonesia dan dunia Islam yang lebih luas. Spiritualitas itu tidak bisa tumbuh subur, dalam dunia Islam, kalau tidak berkaitan dengan Organized Religion, dalam hal ini adalah Islam. Kita bisa lihat, macam-macam spiritualitas yang umum, seperti meditasi, yoga, itu di dunia Islam kurang subur.
Ulil : Seperti yang anda katakan tadi bahwa sufisme digemari karena orang jenuh dengan agama yang formal, apakah sufisme ini bukan agama formal?
Dari sejarahnya sufisme sebenarnya melebihi formalitas. Sufisme akan masuk pada tahap yang lebih dalam, dan lebih dari syari'ah. Dia merupakan perjalanan lebih lanjut dari syari'ah. Dia masuk pada bidang-bidang yang esoterik bukan lahiriyah saja tapi yang batiniyah. Ciri khas pada sufisme adalah pada yang batiniyah itu.
Ulil: Artinya yang disentuh di situ adalah aspek-aspek hubungan batin manusia dengan Tuhan, ketimbang ritualnya?
Dari segi interior, manusia yang di situ ada segi psikologis yang paling mendasar, dan lebih dalam lagi segi spiritual.
Ulil : Bagaimana sebenarnya sejarah tasawuf atau sufisme dalam Islam itu?
Kalau ditanyakan tentang sejarah tasawuf, memang tasawuf muncul sebagai suatu reaksi, karena memang pada saat itu dunia Islam mendapatkan perkembangan yang pesat sekali, sehingga kekayaan mengalir kepusat-pusat Islam dan pada saat itu kemewahan menjadi sesuatu yang tidak terkendali. Tasawuf muncul sebagai reaksi dari kehidupan mewah ini. Dan kita tahu Rabi'ah al-Adawiyah yang pertama kali mengkritik tentang ini, dan ini awal mulanya tasawuf. Dan mereka kemudian mulai memikirkan cara hidup sederhana, cara hidup kontemplasi yang sudah dirintis oleh orang yang hijrah dari Mekkah.
Ulil : Ada yang kekhawatiran sebagian orang bahwa sufisme adalah pelarian orang yang kurang paham syari'at lalu loncat langsung ke inti agama?
Justru ini yang sudah jelas dalam Islam. Tasawuf tidak bisa lepas dari syari'ah. Bahkan syari'ah itu pintu masuk untuk tasawuf. Tidak ada loncatan sehingga orang bisa masuk ke dunia spiritual tanpa syari'ah. Justru itu kritik dari banyak kalangan pemikir/filosof terhadap tasawuf dewasa ini seperti dari kalangan Perenial Fritjof Schuon. Karena golongan mistik di Barat itu ingin memotong jalur syari'ah itu loncat kepada spiritual. Hal itu seperti membuat pohon cangkokan yang tidak memiliki akar yang dalam. Mungkin tumbuh tapi tidak kuat. Tapi kalau tasawuf dengan syari'ah punya akar yang dalam sekali. Karena syari'ah punya akar primordial yang jauh sekali, yang diyakini dalam iman.
Ulil: Bisa nggak Anda bercerita sedikit bagaimana pandangan dasar tasawuf mengenai agama atau apakah manfaat agama buat manusia dalam pandangan tasawuf?
Karena tasawuf berurusan dengan soal-soal kerohanian, maka agama di sini harus dilihat dalam arti spiritual, arti spiritnya. Manusia sebenarnya punya satu ikatan primordial dengan Tuhan. Maka kata dien dalam al-Qur'an menjadi menarik, karena artinya adalah binding yang berarti ikatan manusia dengan Tuhan. Justru pada segi ini tasawuf memberikan perhatian yang sedalam-dalamnya, bukan dalam arti lahiriyah, seperti syari'ah sudah memikirkan fiqih. Tapi jauh mengenai itu. Justru setelah syari'ah itu apa, kedalaman apa, hubungan apa yang bisa dibangun manusia dengan Tuhannya yang lebih personal? Karena tasawuf lebih personal. Kenapa orang sekarang lebih banyak membutuhkan tasawuf? Karena orang sekarang lebih banyak bekerja dan banyak hidup pada dunia eksterior, dunia luar, dunia dhahir dan sangat pesat sekali. Karena modernitas adalah dunia yang sangat eksterior. Hampir sepenuhnya eksterior tanpa perhatian sama sekali pada perhatian dunia interior. Karena dunia dalam ini sudah dihapus pada dunia filsafat modern.
Ulil : Jadi dunia yang menekankan aspek lahiriyah itu maka kebutuhan akan batin menjadi kuat?
Kuat sekali, rupanya ini tidak dibayangkan oleh para kritisi modernitas, yang dulu mengganggap bahwa alternatif dari agama adalah atheisme.
Ulil: Bagaimana dengan peran mursyid dalam apa yang disebut sebagai urban sufism?
Tasawuf itu sesuatu diajarkan oleh Rasulullah SAW, dan para sufi juga mengakuinya. Karena itu memang agama intinya ada pada tasawuf, itu yang selalu dikatakan oleh para sufi. Justru Syari'ah adalah jalan untuk menuju pada inti ini. Peran mursyid memang sangat penting dalam tasawuf, karena para mursyid inilah yang membimbing kita. Karena perjalanan spiritual ini perjalanan yang sulit, jalan yang terjal al-Qur'an menyebutnya, dan harus ada pembimbingnya. Di dalam mistik agama peran mursyid kuat sekali. Tapi tidak semua orang setuju mengenai soal ini. Misalnya Hamka didalam buku "Tasawuf Modern". Pada akhirnya setiap orang harus menjadi mursyid untuk dirinya sendiri. Ibnu Taimiyah juga termasuk ke dalam tokoh seperti ini.
Ulil: Ada yang berpendapat bahwa tasawuf adalah bentuk eskapisme dari persoalan duniawi. Bagaimana komentar Anda?
Belajar tasawuf bukan berarti meninggalkan segalanya. Pandangan orang mengenai tasawuf harus menjauhkan diri dari dunia, saya kira, kurang tepat. Tasawuf justru mempertanyakan apakah kita bisa melakukan kehidupan kesufian ini justru di dalam dunia, misalnya di perkotaan. Misalnya nenek moyang kita yang di desa lebih mudah mendapatkan atmosfer yang bagus tetapi kalau kita bisa mendapatkan pengalaman keruhanian ditengah kota itu suatu prestasi yang lebih besar.
Ulil: Apa kira-kira pandangan dasar tasawuf terhadap kebenaran dari kelompok lainnya?
Memang menarik, karena ide-ide tasawuf bisa kita temukan tidak hanya pada orang-orang muslim, justru kita di sini bisa mengatakan tasawuf adalah disiplin keislaman yang lebih terbuka terhadap kebenaran dari agama lain, segi-segi yang universal dalam agama. Sehingga orang yang belajar tasawuf sebenarnya akan terdorong untuk menjadi lebih terbuka, lebih pluralis dan lebih kosmopolit. Bagaimana memulainya? Saya kira dengan penjelasan tadi bahwa tasawuf dengan kehidupan itu sendiri sebenarnya tidak terpisahkan. Artinya jika seseorang belajar tasawuf dia tidak hanya belajar agama saja akan tetapi dia belajar bagaimana hidup ini.
Ulil : Anda belum menjelaskan kelompok-kelompok tasawuf yang berkembang sekarang ini?
Yang sekarang berkembang sangat pesat adalah Tarikat Qodiriyah Naqsabandiyah, saya kira paling besar. TQN orang menyebutnya. di Jawa Timur ada sangat besar. Di Jawa Barat Pondok pesantren Suryalaya yang mewakilinya. Di Jakarta juga mengikuti tasawuf sebagian besar dari TQN ini. Nanti selanjutnya ada Tarikat Naqsabandiyah yang juga besar pengaruhnya di Sumatera. Dan saya kira mereka ini yang membawa Islam pertama kali di Nusantara. Kekuatan yang ada pada tasawuf inilah yang mengeliminasi kesan bahwa Islam diperjuangkan melalui jalur ekspansi. Setelah masa ekspansi itu selesai, sebenarnya Islam berkembang kedaerah-daerah termasuk ke Indonesia itu tidak lewat faith tapi lewat tasawuf.
Olli: Sejahrawan Anthony Reid pernah menyebut sebagai penetration pacific, yang artinya masuknya Islam secara damai.
Iya, bisa dibayangkan kondisi Indonesia pada saat itu yang masih kuat pengaruh Hinduisme dan Budhisme, kemudian bisa menjadi bangsa Muslim. Kalau tidak karena kerja keras para sufi yang kita sebut "Walisongo" itu, saya kira, tidak mungkin terjadi.
Ulil: Artinya menurut Anda, tasawuflah yang paling mempunyai potensi terbuka terhadap segala kebenaran dari agama-agama lain sehingga melalui tasawuflah kita bisa membangun dialog antar agama. Bagaiamana anda bisa menjelaskan ini?
Karena di dalam tasawuf sebenarnya, kita menemukan kebenaran yang sama. Kebenaran yang bukan merupakan rumusan dogmatis. Kalau teologi biasanya orang bisa berdebat mengenai teologi, tetapi kalau pengalaman iman orang tidak bisa berdebat. Orang yang bisa sharing kekayaan pengalaman itu dipunyai oleh para sufi, para mistik, para guru Yoga, para Budhis, para guru Zen di Jepang, para Taoism di China. Agama sebagai pengalaman menjadi kategori yang sangat penting, dan lebih penting daripada agama sebagai rumusan.
Ulil: Apakah kita bisa mengatakan bahwa dengan tasawuflah orang bisa sempurna agamanya?
Para sufi akan mengatakan seperti itu, yang memungkinkan para penganut disiplin lain akan setuju. Para filusuf banyak yang tidak setuju dengan ini. Dan juga para pemikir modern seperti Arkoun juga tidak setuju. Itu merupakan klaim yang berlebihan dari para sufi. Saya kira lebih baik kita mengatakan ada banyak jalan menuju Tuhan.
Ulil: Saya melihat ada gejala yang sedikit mengkhawatirkan, agama sebagai sumber konfrontasi antar-kelompok. Apakah kita bisa mengatakan bahwa perkembangan tasawuf yang makin populer ini bisa menjadi solusi yang positif ? Kita boleh berharap begitu. Sejarah yang akan mengujinya apakah tasawuf tidak menjadi eksesif, atau menjadi agama baru, atau tidak lebih menjadi yang formalisme dan juga dogmatis. Ujian paling besar dari perkembangan tasawuf di Indonesia adalah apakah dia mampu menunjukan wajah Islam yang lebih inklusif? Seharusnya tasawuf mampu lulus ujian. |
WOMEN AND GENDER IN ISLAM. The book consists of three main parts and eleven chapters besides the introduction, conclusion and notes for the different parts. The first part contains two chapters, which concentrate on the pre-Islamic era in the Middle East -Namely Mesopotamia and the Mediterranean Middle East. In Mesopotamia during this period women lived in a subordinated status which was strengthened by society in accordance to the archaeological view.
TOWARD AN ISLAMIC REFORMATION. The Muslim world today bears witness to a number of Islamist projects and programmes that are moving in all directions. There are governments that have tried to impose Islamisation from above such as that of Pakistan's. In other countries we have witnessed the attempts to graft together Islamic thought with ideologies such as communism and socialism, leading to grandiose schemes such as the Islamisation in Libya according to the `Green book' of Muammar Ghadafi. |
AKAL ADALAH RASUL DALAM DIRI MANUSIA
Dalam situasi di mana kalangan Islam banyak didominasi kecenderungan tekstual dalam beragama, adalah penting untuk menengok kembali tradisi filsafat Islam yang menekankan penalaran independen dalam mendekati teks agama. Menurut Haidar Baqir, filosof Islam dari Bandung mengatakan bahwa filsafat Islam nicaya memberikan kontribusi penting bagi tumbuhnya sikap terbuka.
Berikut petikan wawancara Ahmad Sahal dari Kajian Islam Utan Kayu dengan Dr. Haidar Baqir yang juga pendiri penerbit buku-buku Islam Mizan tentang berfilsafat dan bagaimana filsafat Islam, di Kantor Radio 68H Jakarta hari Kamis (6/12) :
Filsafat Islam sekarang sepertinya dilupakan oleh masyarakat Islam. Pendekatan terhadap Islam banyak berorientasi tekstual sedangkan filsafat kan berorientasi rasio. Bagaimana menurut anda?
Saya kira itu ada hubungannya dengan perjalanan peradaban manusia, khususnya kaum muslim sendiri. Filsafat ini pernah suatu saat berkembang sangat pesat, tapi sifatnya yang sophisticated, membutuhkan disiplin tertentu, membutuhkan keakraban dengan metode-metode tertentu, kemudian cenderung terbatas pada kaum elit. Akibatnya mayoritas kaum muslimin tidak terlibat dalam kegiatan ini. Mereka lebih tertarik kepada bahasan Islam yang lebih simpel, lebih tekstual.
Sehingga akibatnya ketika sebuah konflik yang tidak tehindarkan antara kaum filosof dan kaum tekstualis pecah, maka mayoritas lebih cenderung untuk memihak kepada kaum ortodoks (kaum tekstualis). Rupanya akibat konflik itu terasa sampai abad-abad paling belakangan ini, dan sekarang rupanya peradaban umat manusia yang di dalamnya kaum muslimin berada sudah kelihatannya mencapai suatu tingkat di mana filsafat bukan saja diterima, tapi menurut perkiraan saya merupakan kebutuhan.
Apa akibatnya bila ketegangan antara pendukung rasionalitas dengan kaum ortodoks dimenangkan oleh kaum ortodoks?
Sesungguhnya pemecahan terhadap persoalan-persoalan praktis itu dikehendaki atau tidak, disadari atau tidak, seharusnya berakar pada pemahaman yang bersifat teoritis. Seperti saya katakan, kita mau bicara ekonomi yang ideal itu apakah yang kapitalistik atau sosialistik atau yang bersifat lain. Itu kan mau tidak mau kita diskusi tentang definisi tentang keadilan. Kita membedah politik, pertanyaannya; apakah yang bagus itu demokrasi, atau otoritarianisme yang baik hati? Kembali lagi kita mesti diskusi tujuan berpolitik itu apa.
Setelah itu, baru mengembangkan solusi praktis itu dari pemahaman-pemahaman yang bersifat teoritis. Kalau upaya untuk merumuskan solusi-solusi praktis ini dilepaskan dari pembahasan-pembahasan yang bersifat filosofis teoretis maka kemungkinan besar ketika kita hendak menuju ke satu arah jalan, kita tidak berhasil ke arah itu tapi malah menuju ke arah yang tidak kita harapkan.
Seberapa jauh filsafat Islam bisa dimanfaatkan untuk melakukan dialog yang terbuka terhadap pemikiran apapun?
Filsafat itu kan per-definisi adalah satu disiplin yang percaya bahwa sampai batas tertentu penalaran yang independen (independent reasoning) independen terhadap wahyu, dogma dan tradisi bisa menuju pada kebenaran. Justru dengan sifatnya ini maka filsafat akan memungkinkan sebuah dialog lintas tradisi, lintas budaya, bahkan lintas historisitas juga. Dalam hal praktis mungkin setiap masyarakat dan bangsa terikat oleh historisitas, kultur dan lain sebagainya, tapi ketika masuk ke wilayah filsafat yang percaya pada batas tertentu independent reasoning, maka itu semua tertransendensikan. Dialog menjadi mungkin. Justru di situ menurut saya letak pentingnya filsafat dalam hubungannya dengan dialog antar peradaban.
Kalau kita baca Alquran, dengan sangat tegas memberikan penghargaan kepada independent reasoning, meskipun dengan tidak memutlakkannya. Tapi saya kira seorang pembaca Alquran yang baik pasti mampu melihat itu. Bahkan kalau kita kutipkan sebuah Hadis, dikatakan bahwa akal itu adalah Rasul di dalam diri manusia, sementara Rasul adalah akal di luar manusia. Bahwa sesungguhnya wahyu yang dibawa oleh para Rasul itu membawa kita ke satu titik yang akal juga bisa membawa kepadanya. Wahyu fungsinya adalah mengisi tempat-tempat di mana agama percaya itu berada di luar batasan manusia.
Agaknya uraian Anda belum sepenuhnya terlaksana. Buktinya kalangan Islam di Indonesia masih ada ketakutan terhadap kebebasan berpikir ?
Titik pusat persoalan di situ adalah sikap terhadap posisi akal di dalam keseluruhan pemikiran keislaman. Kalau seseorang percaya terhadap legitimasi akal sebagai salah satu fakultas penemu kebenaran, maka bukan saja dia akan menggunakan independent reasoning di dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam, tapi bahkan dia akan percaya bahwa sampai batas tertentu kelompok manusia manapun punya kans untuk juga sampai pada kebenaran tertentu; Bahwa betapa pun tampak aneh, meskipun mereka, katakanlah, kelompok kiri, dan sebagainya keberadaan akal sebagai esensi kemanusiaan mereka, itu akan memungkinkan mereka juga akan bisa mengambil bagian di dalam kebenaran.
Salah satu dari kaitan filsafat dengan praksis adalah mistisisme atau tasawuf. Dalam tradisi filsafat Islam, mistisisme itu kuat sekali, khususnya tradisi di luar Sunni. Mengapa demikian?
Pada dasarnya definisi filsafat secara umum itu juga mencakup mistisisme. Keduanya ini sama dalam satu hal; percaya bahwa kebenaran bisa dicapai lewat metode-metode ekstra wahyu. Bedanya adalah pada definisi akal. Kalau kaum falasifah percaya bahwa yang dimaksud akal itu reasoning, nalar, sementara kaum mistikus percaya bahwa akal itu adalah Intelek dengan I besar, bukan sekadar reason, tapi terkait juga dengan persoalan intuisi, praktek-praktek kesalehan, dan sebagainya.
Aliran filsafat pasca Ibn Rusyd, terutama yang berkembang di Iran, metode ini dipostulasikan dalam bentuk kebenaran yang harus dicapai oleh suatu metode yang suprarasional. Suprarasional itu tidak berarti anti rasional tapi melampaui sekadar batas rasional yang pada saat yang sama harus bisa diverifikasi dengan pendekatan rasional. Karena kalau tidak bisa diverfikasi lewat pendekatan rasional maka apa bedanya suatu pencapaian kebenaran objektif dengan khayalan, halusinasi dan sejenisnya.
Kalau begitu sebenarnya tradisi filsafat Islam bisa dianggap sebagai berada dalam suatu kontinum, gerak terus menerus. Bagi Anda, apa dan bagaimana obsesi Anda di Indonesia ini untuk filsafat Islam ?
Saya kira kita semua ingin agar orang semua menangkap dengan sebenarnya apa itu filsafat Islam. Apa itu filsafat dan filsafat Islam dan orang menjadi tahu bahwa jauh dari sangkaan orang bahwa filsafat itu merupakan suatu kekuatan yang distortif terhadap kebenaran keislaman. Filsafat itu sesungguhnya meupakan hanya salah satu approach, suatu pendekatan yang dengan pendekatan-pendekatan lain terhadap korpus tradisi Islam bisa membantu kita untuk menafsirkan Islam secara lebih dekat kepada apa yang dimaui oleh yang mewahyukan itu.
Lebih dekat itu berarti semangatnya pluralis?
O iya. Kalau kita bicara lebih jauh justru lewat filsafat ini kita akan memahami betapa meskipun manifestasi lahiriahnya agama-agama itu memiliki perbedaan-perrbedaan pada dasarnya akar atau sumbernya itu sesungguhnya sama.
Jadi, sebenarnya itu kontribusinya terhadap toleransi dan pluralisme dalam masyarakat majemuk itu sebenarnya positif sekali?
Sangat besar, karena kalau kita pelajari misalnya filsafat Islam justru berkembang. Mulai interaksi para pemikir Islam dengan peradaban lain seperti pemikiran Yunani yang dikenal sebagai tradisi hellenisme, kemudian peradaban Suryani, dan sebagainya. Juga dengan peradaban Kristen. Interaksi dinamis dan tanpa didasari rasa takut dan prasangka terhadap pemikiran di luar Islam semacam inilah yang membikin peradaban Islam menjadi maju. Karena itulah kekhawatiran terhadap filsafat Islam tidak perlu ada. |
WOMEN AND GENDER IN ISLAM. The book consists of three main parts and eleven chapters besides the introduction, conclusion and notes for the different parts. The first part contains two chapters, which concentrate on the pre-Islamic era in the Middle East -Namely Mesopotamia and the Mediterranean Middle East. In Mesopotamia during this period women lived in a subordinated status which was strengthened by society in accordance to the archaeological view.
TOWARD AN ISLAMIC REFORMATION. The Muslim world today bears witness to a number of Islamist projects and programmes that are moving in all directions. There are governments that have tried to impose Islamisation from above such as that of Pakistan's. In other countries we have witnessed the attempts to graft together Islamic thought with ideologies such as communism and socialism, leading to grandiose schemes such as the Islamisation in Libya according to the `Green book' of Muammar Ghadafi. |
| |