Buku Harian Alam
Wahai mahluk tuhan
Waktu itu..aku masih berdiri di depan
Melambaikan daunku pada insan yang menyapaku
Lalu aku bermain dengan sang surya
Hingga nafasku…nadiku..jiwaku…
Kuberikan kepada sesama
Mahluk tuhan
Wahai mahluk tuhan
Waktu itu….
Aku masih membiarkan angin yang pucat
Mengajak daunku melayang ….jauh
Kemudian jatuh
Di dipan dua anak adam
yang sedang berlindung dalam nyamannya dekapanku
Suatu saat..mereka datang padaku
Aku kira mereka sayang padaku….
Wahai mahluk tuhan
Tahukah kau?
Dengan nyamannya mereka membelaiku dengan belatinya yang
tajam
Kenapa tak sekalian saja kau mengusikku dengan deru mesin
setan
Yang memblah tubuhku jadi dua
Kemudian menyuruh sang merah menyelimutiku dengan baranya
Hingga akar-akarku mati…
Daun-daunku lenyap
Aku jatuh…luruh…
Wahai mahluk tuhan
Tidak-kah kau lelah sepertiku
Hentikan sekarang!
Biarkan aku-aku yang lain ada
Dan biarkan gergaji, prajurit besi, dan api-api tu tiada
Wahai mahluk tuhan
Rawat aku sepertiku kan merawatmu
Jaga aku sepertiku kan menjagamu
Karena kita sama-sama…
Mahluk Tuhan…
* Puisi ini menang di festifal menulis dan membaca
puisi SMU se-jabotabek dan dimuat di beberapa majalah dan tabloid.
Selimut mimpi dalam buaian lembut doanya
Perempuan ini…..terduduk
dalam lelah
diantara tumpukan sampah
yang semakin menggunung melimpah ruah
Menahan kantuk yang semakin
merasuk
Menepis nyamuk yang tak
jua mau berembuk
mengipasi sang bujang belia
yang terlelap dalam dinginnya malam,
menyelimuti mimpi dalam
buaian lembut doanya
“Tidurlah anakku….agar
esok dapat kau temani pagi menyambut hari baru….”
Perempuan ini.......
terbangun awal saat matahari
masih enggan bersurya
saat azan subuh memecah
keheningan malam yang kelam
saat manusia masih terlena
dalam fana
lalu ia bangunkan si bujang….
agar pergi berlayar meninggalkan
bilah kayu dermaga …..
“Lekas bangun
nak…sudah pagi”
“Lekas bangun
nak…lalu sembahyang”
“Lekas bangun
nak….kamu harus sekolah”
“Lekas bangun
nak…kamu harus pintar, agar dapat menghitung koran bekas yang kita jual, agar tahu berapa ongkos ke Jakarta,
agar bisa bangun gedung-gedung
tinggi, dan punya mobil yang lampunya menyala-nyala
…….seperti di telenovela”
Perempuan ini……
Bersimpuh di sajadah sederhana
dalam balutan kain putih
hatinya yang tak bernoda
ia lantunkan seribu doa…
tentang ia dan si bujang
tentang sekarang dan yang
akan datang
ada kendil menyala terang
di dipan reot hatinya
ada bulir kehidupan terjatuh
di wajahnya yang keriput termakan usia
ada ketegaran dan kekuatan
ada kesungguhan dan keikhlasan
ada kelembutan dan ketegasan
ada keabadian…..
atas cinta kasihnya….
Yang tak mati-mati…………
Door Duisternis
Tot Licht…..
(Habis Gelap Terbitlah
Terang)
Seperti Adipati Sosroningrat
yang kegirangan
Jepara juga ikut terkesan
lahir bidadari kecil nan
rupawan
di balik bilik tangisan
pecahlah kesunyian
Gaduh…gemuruh
“Kartini namanya!!”
Seperti kupu-kupu yang bermetamorfosis
Sayapnya berkembang menawan
Feodalisme bukanlah lawan
tandingan
Kasta hanya jembatan kehancuran
Sehari pingitan seabad kebebasan
“Kami juga bisa maju..!!!”
Seperti mendung yang tak
bertuan
Odysseus kehilangan sang
Penelope pujaan
Abu kelabu..hitam kelam
Kartini kembali menghadap
Tuhan Alam
Indonesia berduka…pedih
mendesis
Hilang putri bermahkota
keanggunan
Matikah kartini?Tamatkah?Habiskah?
Lalu itu siapa?
Bukan Kartini kah?
Itu Kartini! Yang disana!!
di dalam jiwa Saur Marina
Manurung yang mendidik suku anak dalam
di dalam raga Lisa Rumbewas
yang kuat mengangkat beban
di dalam semangat Moeryati
Sudibyo yang membawa kesejajaran
di dalam otak Pia Alisyahbana
yang tak berhenti berpacu maju berjalan
di dalam kecantikan Dian
Satrowardoyo yang begitu menawan!!!
Itu kartini juga kan ??
Seperti epilog-epilog yang
bernyanyi
layar panggung terbuka lebar
Saat simfoni mengalunkan
opera milik Giacomo Puccini
Indonesia kembali gemuruh
Bertepuk riuh
Kartini belum mati !!
Ia masih ada dalam ketulusan
Dalam kecerdasan dan kekuatan
Dalam keanggunan dan kejujuran
Dalam kepercayaan
Bahwa setiap habis gelap….
Pastilah ….
Ada…
Terang…..