"Pa, mau ke gereja dulu ya, misa hari ini Anton harus berangkat agak pagian, soalnya jadi putra altar", Anton pagi2 sekali
sudah berpakaian rapi.
" Papa anterin aja, Papa sekalian mau ke masjid, ada khataman Quran, kan sekali jalan"
"Carla juga mau dianterin dong Pah, hari ini ada ekskul ballet di sekolah."
" Oke deh, cuman ada syaratnya,
Papa minta dikenalin ama yang nganterin Carla kemarin itu, pacar baru lagi ya....?"
"Ah Papa, masa' syaratnya gitu sih, gak ada syarat lain apa"
"Abisnya hampir tiap bulan ganti, Papa kan musti lihat2 dong calon menantu Papa" Carla langsung menghambur ke
pundakku, dicubitnya punggungku.
"Papa nakal ah......!!!!"
Carla, Ida Ayu Carla Amelia Putri Utami nama lengkapnya,
aku tidak tahu apa itu nama yang bagus untuk anakku itu. Tetangga bilang, nama itu terlalu tinggi untuk dia, apalagi memakai
nama kasta ksatria Ida Ayu. Tapi aku tidak percaya akan takhayul itu, bagiku semua orang berhak punya nama yang bagus2. Tapi
masih saja mereka sering mengingatkanku akan resiko nama itu, jika yang punya nama tidak kuat, bisa2 dia sakit2an atau sifatnya
nggak karu2an. Aku anggap angin lalu saja, biarlah mereka ngomong sampai berbusa mulutnya, nama sudah aku berikan dan tidak
akan aku cabut.
Aku mengambilnya dan mengangkatnya di saat dia berumur 1 tahun, dia diberi nama oleh orang tua aslinya Koncreng,
nama yang sungguh aku sendiripun tak ingin mendengarnya. Sumpah waktu pertama kali mendengarnya pun, aku ingin tertawa. Koncreng
itu di Bali punya konotasi yang cukup negatif, wanita simpanan begitu bahasa sederhananya. Atau Sephia dalam kamus Bahasa
Indonesia modern. Aku dengar selentingan memang, kalau Carla adalah anak gelap dari gundik kepala desa, tetapi aku tidak perduli.
Aku lebih percaya bahwa lingkungan lebih punya andil besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Ida Ayu sengaja aku tambahkan
di depan namanya untuk menunjukkan bahwa dia adalah putri Bali, putri pribumi, yang aku harap kelak mampu tegak dan menjadi
seseorang yang mengubah sistem2 mandul dengan sistem sosial yang egaliter dan konstruktif. Walau secara resmi dia lahir dari
kasta sudra atau bahkan mungkin paria, tetapi aku mencoba menghapus salah kaprah itu. Kasta itu hanyalah sebutan, walaupun
kau anak pedanda atau pendeta tetapi jika pekerjaanmu berdagang, maka kamu seharusnya memakai nama2 Waisya. Sebaliknya walaupun
kau lahir dari rahim kuli bangunan, tapi jika kau mendalami agama dan menjadi pendeta, maka kau layak memakai gelar2
Brahmana. Dan kasta sama sekali tak mempengaruhi kualitas seseorang dalam masyarakat.
Antonius Santoso, anak angkatku yang satu lagi, adalah seorang yang sangat rajin beribadah, setiap malam menjelang
tidur, tak lupa dia selalu berosario ria dalam gelap. Kamarnya dipenuhi oleh patung2 Tuhan Yesus dan gambar Bunda Maria. Aktif
sekali di gereja, dan juga aktif di Mudika (Muda-Mudi Katolik). Walaupun dia lebih memilih konsep ketuhanan yang cukup konservatif,
dia seorang yang sangat humanis, nilai2 pengorbanan Tuhan Yesus dihayatinya benar2, apalagi kalau di rumah, walaupun sedang
sesibuk apapun atau secapek apapun, kalau ada yang meminta tolong, dia langsung bergegas. Kadang2 aku khawatir, Anton terlalu
baik dengan orang, bahkan yang belum dikenalnya sekalipun. Mudah2an saja tidak ada yang memanfaatkan kebaikannya itu. Aku
bertemu dengannya secara tidak sengaja, mungkin sudah tertulis di Lauh Mahfudz pertemuan kami itu. Waktu itu aku jalan2 di
kota, membeli perlengkapan lebaran. Tiba2 mataku terantuk oleh pemandangan tak biasa, seorang anak kecil berpakaian compang
camping sedang duduk di tepi trotoar, beralaskan terpal kecil berwarna hijau, sedang serius mengarahkan matanya ke sebuah
buku kecil namun cukup tebal. Aku tajamkan pandanganku, dia sedang membaca "Global Ethics". Aku geleng2 kepala, kagum campur
tidak percaya. Sepanjang ingatanku, anak2 jalanan tidak ada yang tertarik membaca hal2 kaya gitu.
" Bagus Dik...?."
" Hmm, eh...iya Pak. Bagus sekali"
" Isinya apa..?"
" Hmm, banyak sih Pak, tapi intinya,
dunia ini harus mengedepankan moral daripada kepentingan2 sementara manusia. Dan agama harus jadi alat untuk mencapai kesejahteraan
kolektif. Jika manusia mau saling introspeksi dan berdialog, dunia yang lebih indah adalah masa depan kita."
Aku seperti
ditampar kuntil anak di pagi hari buta, apa aku tidak salah dengar. Gelandangan di depanku ini memberi kuliah gratis padaku.
Bahasa2 yang dia gunakan pun bukan bahasa sederhana, layaknya dosen di FISIP yang harusnya berbicara seperti ini. Percakapan
kami pun berlanjut, semakin hangat dan menarik. Sampai aku lupa kalau kepergianku tadi karena mengemban tugas dari bundanya
anak2 untuk membeli keperluan lebaran. Akhirnya karena diskusi kami belum selesai, aku mengajaknya belanja sekalian. Sambil
berputar2 di pasar, mencari semua kebutuhan lebaran yang sudah dicatat, aku banyak belajar dari anak ini. Pengetahuannya sungguh
di luar dugaanku, seorang Kristiani progresif kalau boleh aku menyebutnya.
Tak lupa aku belikan baju untuk dia dan kuminta untuk langsung dipakai, dan setelah semua belanjaan terbeli,
kami mampir sebentar di warung makan untuk sekedar mengisi perut. Tiba2 terbersit di benakku untuk mengenalkannya ke anak2
ku, dan kuajaklah dia ke rumah. Ternyata anak2 sangat senang sekali dan sejak itu dia sudah menjadi bagian dari keluarga kami.
Kebetulan ada kamar satu yang biasa dipakai untuk sholat berjamaah, bundanya anak2 usul agar kamar itu yang dipakai oleh Anton.
Untuk sholat, bisa juga di kamar tidur yang cukup besar dan cukup untuk paling tidak 4 orang.
Aku mempunyai dua anak kandung, Mileva Bening Suryani, berumur 20 tahun, dia tuna rungu sejak umur 10 tahun.
Yang kedua adalah Muhammad Albert Sidharta, berumur 17 tahun, pemuda yang digandrungi gadis2 sebayanya diluar segala perilakunya
yang ugal2an. Walaupun Bening tidak bisa mendengar, tetapi puisi2nya sangat menyentuh, beberapa kali aku harus menarik nafas
jika membaca puisi2nya. Mengalir sepanjang Eufrat dan Tigris, deras seperti Niagara, membelah2 peradaban dan akhirnya menyerahkan
diri kepada muara segala muara. Lukisannya pun sangat artistik, tampak betul keinginannya untuk selalu mendengar alam dengan
hatinya, mendengar kesah dunia dengan jiwanya, karena dia tahu telinganya tak berfungsi sebagaimana mestinya. Karena cacatnya
itu, sampai umur 20 tahun, dia belum punya pacar. Pemuda2 itu mungkin akan terkagum2 akan elok parasnya. Tetapi jika kemudian
tahu kalau dia tidak bisa mendengar, maka merekapun mundur teratur. Dia senang sekali menyendiri di kamar, menulis dan melukis.
Suatu saat dia pernah menyatakan keinginannya untuk belajar musik, mau menjadi Beethoven wanita katanya. Justru aku yang malah
kebingungan, bagaimana aku harus mengajarinya. Akhirnya karena tak menemukan jawaban, aku memberi isyarat padanya bahwa itu
tak mungkin, atau hanya karena aku tak tahu bagaimana mengajarinya.
Tapi akhir2 ini aku lihat wajah Bening lebih cerah dari biasanya, senyumnya selalu mengembang. Aku sempat
heran, tak biasanya Bening bersikap seperti itu. Tapi aku diam saja, paling sebentar lagi dia akan cerita apa yang terjadi
dengannya. Benar saja, sehabis mengantar Anton latihan koor di gereja, Bening langsung menyambutku dan menggelayut seperti
anak kecil di lenganku. Bening memang lebih dekat denganku daripada dengan Bundanya, untuk hal2 yang sangat rahasia biasanya
akan cerita padaku, lain dengan Albert yang selalu cerita masalah yang sangat pribadi kepada bundanya. Dengan isyaratnya,
aku terbata2 mengerti bahwa anakku itu baru saja menemukan kekasihnya dari internet. Dia memang tinggal sangat jauh dari kota
kami, tetapi Bening meyakinkanku kalau kali ini ada sesuatu yang tak biasa dengan pacarnya itu. Bahkan aku ditunjukkan salah
satu puisi yang dibuat oleh pacarnya itu, aku terharu juga. Konsep cantik dalam puisi itu sudah sedemikian maju, benar2 sudah
di luar batas lahiriah. Aku turut gembira, walau di saat yang sama kesedihan mendalam mewarnai aliran darahku. Sudah berapa
kali saja pemuda2 itu mendekati Bening, namun akhirnya mereka pergi semua karena kekurangan yang dimiliki Bening. Aku takut
kejadian yang sama akan terjadi lagi kali ini. Tapi aku tidak ingin mengurangi kebahagiaannya, aku hanya bilang bahwa kisah
cinta May Ziadah dan Kahlil Gibran adalah sebuah kisah cinta yang indah tiada tara.
Muhammad Albert Sidharta, sungguh nakal anakku yang satu ini. Aku memberi nama itu, karena aku ingin kelak,
dia mampu menggabungkan pengetahuan yang dimiliki oleh 3 manusia yang aku kagumi. Nabi Muhammad, Albert Einstein, dan Sidharta
Gautama. Aku sering dipanggil ke sekolah, karena Albert sering tidak masuk atau meninggalkan pelajaran tanpa alasan yang jelas.
Tapi aku tidak pernah marah sama Albert, karena aku tahu betul, Albert mempunyai pandangan tersendiri mengenai sekolah dan
pendidikan. Seringkali di depanku dia memprotes kurikulum2 sekolah yang mengekang kebebasannya berekspresi, baginya sekolah
adalah penjara. Dia lebih senang belajar sendiri apa yang dimauinya. Ambisinya adalah musik dan seni.
"Papa, aku mau keluar dari sekolah"
" Maksudmu...., keluar bagaimana..?"
" Ya keluar Pa, aku nggak betah lagi sekolah, menghabiskan waktu. Guru2
yang monoton, ilmu2 yang usang, belum lagi peraturan2 yang tak masuk akal. Aku bosan Pa.."
"Tapi sekolah tetap penting Albert, karena pintu2 dunia terbuka di depanmu. Kau tetap bisa belajar apapun yang
kau mau di luar jam2 sekolah"
"Aku sudah muak Pa, sekolahku yang besar itu tak cukup menampung segala uneg2ku, bahkan seolah2 kawat berduri
yang menghalangi ruang gerakku. Haruskah aku belajar sesuatu yang dipaksakan untuk aku percayai, sedangkan aku tidak percaya.
Itu hipokrit Pa."
"Hmmm, baiklah. Tapi Papa minta kamu memikirkannya semalam lagi, besok Papa akan mendengar lagi apa keputusanmu"
Sudah aku duga sebelumnya, lambat atau cepat, Albert pasti akan menegasikan institusi2 formal itu. Tapi aku masih
berharap agar dia berubah pikiran, aku hanya tidak ingin dia memilih jalan yang salah ketika tidak sekolah.
"Pa, keputusanku sudah bulat, aku akan keluar sekolah. Apapun resikonya"
" Albert, jika itu sudah keputusanmu. Papa hanya bisa mendukungnya, dan apapun yang terjadi, Papa akan selalu
membuka lebar tangan dan dada Papa untukmu."
" Terima kasih Pa. Anyway, Papa kan baik hati..."
" Halah ngerayu, pasti ada maunya ini"
" Memang Pa, minta duit dong, mau beli buku Madilog-nya Tan Malaka."
"Lah jatah duit untuk bukumu bulan ini
kan sudah habis, tapi tanya saja sama Bunda, kalau sudah di luar budget, itu hak prerogratif Bunda"
"Boleh Bunda ya..?" Albert memelas sengaja merayu bundanya.
" Iya...., tapi Bunda boleh juga membacanya ya..?"
"Beres Bunda"
"Oh ya Pa, setelah menimbang2 juga, akhirnya
aku memutuskan bahwa aku tidak mempercayai Tuhan"
" Hus..., bicara apa lagi kau ini" kali ini bundanya anak2 yang dari
tadi tak banyak bicara, rupanya terusik juga. Sepertinya dia kaget.
"Aku butuh spiritualitas Bunda, tetapi dalam Tuhan yang ada di dalam agama, aku tak menemukan apa2. Mungkin Tuhan
ada, tapi aku lebih baik menganggapnya tak ada, karena dengan begitu aku akan belajar untuk percaya pada kekuatanku sendiri"
"Sudah kamu pikirkan baik2 Albert..?, jangan ikut2an hal2 yang sebenarnya tidak kau mengerti"
"Ya Pah.."
"OK, bagus kalau begitu. Cuma satu yang ingin Papa tekankan padamu, apapun pilihanmu, jangan ragu
dan jangan pula mengingkari hatimu."
"Tidak Pa. Albert sama sekali tidak ragu"
"Bagus. Dan satu lagi Albert. Kebenaran itu relatif, tidak ada kebenaran mutlak di dunia ini."
"Albert sudah tahu Pa."
"Sini, dekat sama Papa"
Aku mencium kening putraku, terharu, seumur itu sudah berani mengambil keputusan besar.
Aku sendiri di saat seumur dia, masih seperti kambing congek, yang masih melihat kanan kiri kebingungan mencari induk semang.
Hanya bundanya anak2 kayaknya marah besar, masuk ke kamar tidur tanpa bilang apa2. Albert aku minta untuk
tenang, aku yang akan menyelesaikan itu. Malam ini aku harus bekerja ekstra keras untuk meredam amarahnya, padahal dari tadi
siang aku sudah membayangkan servis memuaskan seperti biasanya. Huh, malam ini jangankan servis, reda marahnya saja sudah
beruntung.
Walaupun sudah menjadi atheist, Albert masih sering ikut sholat berjamaah bersama kami. Hanya untuk mencium
tangan kami berdua, dan kemudian bercerita tentang hari2 yang telah dilaluinya. Sehabis maghrib, kami selalu mengumpulkan
mereka semua untuk makan malam. Bercanda dan sekedar bercerita2 tak tentu arah. Di atas jam 7 malam, setelah sholat Isya'
selalu ada sesi selanjutnya bagi yang ingin menceritakan masalah2 pribadi. Kami selalu bergantian, rata2 anak2 perempuanku
lebih memilih aku sebagai konselor mereka, sedangkan yang laki2 lebih memilih Bunda.
Aku didik mereka dalam kebersamaan, dan tak ada perbedaan antara yang anak kandung dan anak angkat. Tak ada
perbedaan perlakuan karena kepercayaan. Mereka adalah anak2ku, buah hatiku. Tanganku hanya dua, dengan kehadiran mereka, tanganku
akan sebanyak gurita, menyentuh kisi2 dunia yang tak terpikirkan. Mataku hanya dua, dengan pandangan mereka, mataku akan semakin
menyadari keelokan dunia. Telingaku hanya dua, dengan pendalaman mereka, musik2 semesta akan semakin indah kedengarannya.
Mulutku hanya dua, dengan kata2 mereka, dunia akan semakin berwarna. Tapi cintaku pada mereka satu, cinta bercampur harapan
besar atas peran-peran yang akan mereka ambil dalam percaturan kehidupan.
Amsterdam, 19 November 2004
Kado Idul Fitri untuk Lala, Lili, Lulu, Saleh, Ali, Tofa, Zam, Anna, Farhan, Filzah, Insan, Musa, dan semua anak2
di seluruh dunia.