Sore itu aku berjalan2 di tepi sungai, lelah aku setelah seharian bekerja di sawah. Rasanya lega sekali, padi2
yang selama ini kurawat sudah mulai berisi. Kelopak2 itu sudah mulai gemuk dan panjang berulir. Bahkan beberapa hari ini sudah
banyak yang mulai merunduk ke tanah, melihat dan mengagumi darimana dia berasal dan mendapatkan penghidupan. Mungkin itu yang
dimaksud oleh nenek moyang untuk meniru ilmu padi, semakin berisi tetapi semakin merunduk. Bukan merunduk tidak percaya diri,
tetapi merunduk mengagumi Ilahi, sumber segala ilmu dan pengetahuan. Hari sudah mulai gelap, remang2 cahaya lampu dari seberang
sungai sudah mulai kulihat. Tiba2 aku melihat bayangan seseorang berambut panjang berjalan menuju sungai, memakai kemben*
dan menjinjing keranjang kecil.
Langkahnya pelan menjemput air sungai, dan berhenti ketika air telah mencapai ujung atas kembennya. Rambut panjangnya
segera diurai dan dia mulai merendamkan dirinya di air sungai yang mulai dingin. Mataku tak berkedip2 sejak tadi, jarak yang
memisahkan aku dengannya memang tidak terlalu jauh. Sayup2 kudengar dia menyanyi, detak jantungku berdegup keras, suaranya
magis, apalagi didukung oleh suasana sore yang terhiasi oleh jingga cakrawala. Putri2 kraton yang tertulis di lontar2 Majapahit
yang katanya cantik nan gemulai itu aku belum pernah melihatnya, tapi sepertinya yang didepan mataku ini tak kalah indah dengan
putri2 itu, hanya saja kecantikan dan gemulainya tidak tertulis di lontar, tapi tertulis di alam, dengan tinta2 sang cakrawala.
Dia berputar2, bermain air, terkadang menyelam, mengambil pasir halus dari dasar, dan diusapkannya di seluruh badannya.
Rupanya dia sadar sejak tadi ada mata yang mengagumi geraknya, dan mulai menatap balik ke arahku. Aku menjadi kikuk,
dan kulambaikan tangan ke arahnya. Dia juga melambaikan tangan ke arahku, sambil tak henti2nya masih bernyanyi2 kecil. Dia
melambaikan tangan lagi, mengajakku untuk turun mandi. Walaupun dingin, kupaksakan diri juga untuk mengakrabkan diriku dengan
air sungai. Aku berenang ke seberang, menelusuri riak2 air yang memancarkan aroma2 eksotis. Bayang wajahnya semakin jelas,dan
suara nyanyiannya semakin keras terdengar. Wajahnya bulat, dengan pandangan tajam berwarna biru. Ternyata dia menyanyi Asmaradahana,
tembang2 ritmis tentang cinta seorang anak manusia. Dia sudah mulai nakal melempar2kan air ke mukaku, sambil tertawa2 renyah,
akupun membalasnya. Kami tertawa2, akrab seakan telah bersatu di kehidupan sebelumnya. Reinkarnasi kedua yang tinggal melanjutkan
saja. Hanya aku heran, kenapa aku baru bertemu dia sekarang, bukankah dia adalah salah satu penduduk desa seberang. Dia tertawa
lagi, tertawa lagi, kadang kuberanikan diri memandang tepat lurus ke wajahnya, saat itulah dia berhenti tertawa, dia tersenyum,
senyum yang bukan berasal dari bumi, aku tahu pasti. Dia menyelam, beberapa lama sehingga aku kebingungan di kegelapan, kumenoleh
ke kanan kiri untuk mencari sosoknya, tapi tak muncul2 juga. Tiba2 bukkkk.............ada benda serupa pasir menabrak punggungku,
aku secepat kilat menoleh, hampir saja wajah kami bertabrakan. Ternyata rambutnya tadi yang menabrak punggungku, dan dia kini
tepat beberapa senti di depanku. Begitu dekat hingga aku mendengar nafasnya, seperti angin2 harapan dari oase yang menerjang
padang pasir. Dia sendiri sepertinya kaget, tidak menyangka akan menabrak punggungku dari belakang. Aku baru sadar sekarang
betapa cantik makhluk yang berada di depanku ini. Rambut panjangnya yang hitam legam sedikit mengkilat oleh sinar rembulan
yang sudah mulai mengggantikan tugas sang mentari.
" Cantikkkkk......" tiba2 suara serak seorang lelaki membahana dari atas sungai, menimbulkan suara sambung menyambung.
Gadis itu langsung beranjak, menuju ke tepian lagi. Tapi dia celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Ah ya, sepertinya
dia lupa dimana menaruh keranjang kecilnya, ternyata bidadari bisa juga lupa, aku langsung menghambur ke darat, kucoba mengingat2
dimana dia tadi meletakkan keranjang kecil itu. Sinar rembulan yang tidak begitu terang semakin mempersulit pandangan. Tapi
segera kulihat keranjang tadi di balik batu di ujung sana, rupanya karena keasyikan bermain, kita sudah agak jauh dari tempat
semula. Aku segera berlari mengambil keranjang kecil dari anyaman bambu itu, dan segera menyerahkan kepadanya. " Terima
kasih ya sudah menemaniku.." dan diapun pergi..............
Dua belas purnama sudah aku mengenalnya, dan kehidupanku selalu diwarnai oleh canda dan kisahnya. Jika malam diwarnai
rembulan, kami akan selalu pergi ke sungai itu, bermain dan bernyanyi, tersenyum dan tertawa. Dia memang cantik, seperti namanya.
Tapi semakin lama aku mengenalnya, kecantikan itu semakin membuatku tergila2. Karena cantik yang terpancar lebih kuat justru
dari sikapnya, melebihi kecantikan raganya yang memang sudah luar biasa. Tapi dia selalu mengelak ketika kubilang bahwa dirinya
cantik, apalagi kalau kubilang bahwa dia adalah seorang yang sangat cerdas, dia pasti mengalihkan pembicaraan. Apakah dia
kira aku nggombal, padahal belum pernah dalam hidupku aku bilang bahwa hobiku nggombal. Hobi yang elitis itu memang tidak
pas denganku, aku hanya ingin jujur. Aku hanya bicara apa adanya, tidak mengurangi tidak menambahi.
Tapi memang sebenarnya kata2 tak cukup mampu melukiskan keindahannya, tapi aku terus mencoba, walau aku tak tahu apa
itu sampai pada tujuannya. Tapi begitulah, aku hanya makhluk biasa, yang bisa terpesona oleh keindahan dan kecantikan, yang
bisa menggelepar oleh suara halus dan rayuan. Aku sering mengajaknya untuk bicara tentang masa depan. Bicara tentang langkah2
manusia di bumi, tentang segala tingkah dan perbuatan. Dan diapun menimpali, dengan kata2nya yang lembut, diucapkan dengan
yakin. Protes2nya terhadap manusia yang sewenang2 terhadap alam, terhadap keadaan yang membelenggu anak bangsa untuk maju,
atau terhadap nada sinis sebagian manusia jika seorang wanita ingin berkarya. Dan kalau keadaan sudah menjadi terlalu serius,
kitapun bercanda lagi. Bicara tentang kucing yang hari ini tidak mau makan karena sedang jatuh cinta dengan kucing tetangga,
atau tentang anjing yang nakal mengikuti kemanapun tuannya melangkahkan kaki. Tertawa lagi, menertawakan segala yang bisa
ditertawakan. Melepaskan segala beban, karena beban kadang memang tak perlu terlalu dipikirkan. Asal sebagai manusia kita
sudah melaksanakan yang terbaik yang bisa kita lakukan.
Suatu malam aku bertanya padanya, maukah dia memberikan senyum surgawinya untukku, tidak hanya untuk saat ini, tapi untuk
sepanjang perjalananku menempuh kehidupan. Dia terdiam, menerawang......, dan akhirnya dia bilang dia juga takut kehilanganku.
Lalu kutanya, maukah dia bersama denganku mencari arti dibalik semua ayat2 Tuhan yang tertulis maupun yang tercipta, mengarungi
kapal bersama menuju teluk bahagia di ujung sana. Rona wajahnya berubah, dia kelihatan bingung, lama sekali dia terdiam, mengarahkan
pandangan ke bumi, seakan menembus dan bertanya kepada bumi akan galaunya, kemudian ke langit, bertanya kepada bintang2 akan
risaunya.Di remang2 rembulan, dia membisikkan kepadaku, bahwa dia tak mau mengecewakanku.
" Biarkan aku sendiri beberapa purnama ini...", dan kemudian dia pergi, melewati rumpun2 padi yang kekuningan, dan menyeberangi
sungai jernih itu. Pergi ke desanya yang diseberang. Aku hanya bisa terpaku di sini, kejadian itu begitu cepat, sampai aku
tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Aku berteriak2 memanggilnya, tapi suaraku ditelan oleh anggun langkahnya.
Dia mungkin belum tahu, bahwa dia tak pernah mengecewakanku, dan tak akan pernah. Karena seperti yang aku bilang dulu
ketika aku pertama kali menyatakan bahwa aku cinta padanya, bahwa cintaku apa adanya, kelebihan dan kekurangan itu adalah
keniscayaan, bahkan bagi seorang bidadari seperti dia. Tak ada yang mampu memalingkan aku dari cintanya, karena cintaku bukan
karena cantiknya, tapi karena kecantikan hatinya. Cintaku bukan pada keluarbiasaannya, tetapi karena usahanya untuk tetap
menjadi biasa. Dan aku tahu setiap yang hidup akan beranjak tua, tapi aku yakin kecantikan hatinya abadi. Biarlah semua manusia
silau akan aroma harum dan tebaran pesonanya, aku hanya akan mengagumi dia seperti adanya. Beberapa purnama, sungguh waktu
yang sangat lama kurasakan. Aku hanya ingin dia kembali lagi, setiap malam yang berhiaskan rembulan bermain bersamaku, biarlah
masa depan tetap menjadi masa depan.
|