Sayap2 Jibril mulai berteriak kelelahan, setelah tugasnya yang terakhir di sebuah planet di galaksi yang jauh, dia ingin
sejenak menengok jejak terakhirnya di bumi 14 abad yang lalu. Tugas selanjutnya memang telah menunggu, tapi dia meminta reses
sejenak pada Tuhan untuk sekedar beristirahat, dan waktu itu digunakannya untuk melihat planet sangat kecil berwarna biru
yang mengelilingi bintang berwarna kuning. Sedikit ilmu yang telah disampaikannya kepada Muhammad ingin dilihatnya lagi, sekedar
bernostalgia. Jibril tersenyum-senyum sendiri, betapa aneh perjalanan anak spiritualnya yang bernama Muhammad itu. Dia tidak
bisa membaca, karena itu bodoh sekali. Pertama kali Jibril mendatangi Muhammad, Muhammad malah ketakutan. Tapi Jibril
memaksa juga mengajari pemuda bodoh tapi jujur itu beberapa kata untuk sedikit mengenalkannya pada Sang Pencipta. Kedua kali
Jibril datang, Muhammad tambah ketakutan sampai dia sakit, istrinya yang jauh lebih tua dari Muhammad sendiri, Khadijah, sampai
kebingungan, dan menenangkan Muhammad. Jibril sampai geleng2 kepala, tidak tahukah pemuda ini bahwa dia akan diberi sedikit
pengetahuan tentang sang Khaliq.
Tapi Muhammad cepat sekali belajar, dalam waktu singkat dia telah menjadi manusia yang cukup dewasa, cukup untuk menyampaikan
kepada manusia lain, bahwa yang patut disembah hanyalah Tuhan. Tuhan yang tak terbayangkan oleh mata biasa, tak teruraikan
oleh kata, yang untuk mengenal-Nya manusia hanya bisa meraba2.
Betapa berat perjuangan Muhammad, Jibril sudah tak ragu lagi. Diludahi, dilempari kotoran onta, dikejar2 seperti maling
yang mau dibunuh, biasalah itu untuk utusan Tuhan. Jibril sudah tak kaget lagi, anak spiritual Jibril sebelumnya, Yesus, malah
mengalami nasib lebih parah, sampai digantung di Golgota. Kebanyakan utusan2 itu mengalami nasib yang hampir serupa, ditolak
oleh kaumnya, dianggap gila, diusir, beberapa dibunuh. Hanya sedikit sekali yang cukup berhasil, dalam arti dalam masa hidupnya
punya cukup banyak pengikut. Sidharta Gautama salah satunya, anak spiritual yang satu ini memang cukup bandel dan mbalelo,
lebih suka mencari "enlightment" dengan caranya sendiri. Lebih suka mencari bahagia tanpa Tuhan, buat apa jauh2 klo bisa mencari
bahagia kalau dalam dirinya sendiri saja sudah ada. Kadang Jibril jengkel sama Sidharta, seperti kacang lupa kulitnya, tapi
tidak apa2 lah pikir Jibril waktu itu. Yang penting ajaran menuju kebaikannya banyak diikuti orang.
Dari kejauhan Jibril mulai melihat samar2 planet bumi, seperti kelereng biru bercak2 putih yang berputar. Kangen...,
kangen sekali, 14 abad bukan waktu yang sebentar. Sudah terbayang di otaknya, anak2 kecil berlarian bermain, nenek2 tersenyum
sambil nyusur, sungai2 jernih tempat manusia mandi, si kulit hitam dan si kulit putih berjalan beriringan, wanita2 bermata
sipit bernyanyi, sungguh bumi yang berwarna-warni indah. Hmmmm Jibril tersenyum2 sendiri seperti gila saja. Tak sabar ingin
segera sampai..............
Sesampai di bumi, Jibril beristirahat sejenak, di tengah padang pasir yang hanya ditumbuhi beberapa pohon itu. Mengibas2
sayapnya dan mencoba sebentar merebahkan diri. Bahagia sekali Jibril mendapat "short vacation", bermiliar2 tahun sudah dia
mengabdi sebagai Menteri Penerangan Semesta. Akhirnya dia bisa sedikit bernafas lega.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, ...." sayup2 terdengar suara pujian kepada Tuhan dari kejauhan. Jibril sedikit kaget, tapi
dia senang sekali, misinya berhasil. Manusia masih membesarkan Tuhan, riuh rendah memuji Tuhan. Dia berdiri, dari kejauhan
kelihatan beberapa puluh manusia bersorban putih bersemangat sambil mengacungkan2 tongkat. Hebat..hebat..manusia ini sangat
mencintai Tuhan sehingga panas2 begini mau2nya arak2 an. Jibril tersenyum bangga, setelah liburannnya selesai, dia akan bisa
dengan bangga memberikan laporan kepada Tuhan bahwa tugas yang telah diberikan padanya sukses berat. Tuhan mah pasti
sudah tahu, tapi kalau Jibril yang lapor sendiri, tentu akan menaikkan konditenya Jibril sebagai Menteri Penerangan Semesta
yang bertanggung jawab dan sukses.
Semakin lama semakin keras suara2 manusia itu, diam2 Jibril mengikuti mereka, sebenarnya bukan diam2, karena memang manusia2
itu tak bisa melihat Jibril, kalau Jibril menampakkan diripun belum tentu mereka kuat melihatnya, Muhammad saja sering pingsan
kalau melihatnya dalam wujud asli. Teknologi yang dipunyai manusia pun belum bisa menjelajahi dimensi yang didiami Jibril.
Sampailah rombongan manusia itu di suatu kampung, rumah2 di kampung ini berbentuk bulat2 terbuat dari kayu, ternyata
rombongan itu mengetuk pintu rumah yang pertama terlihat, seorang perempuan berkulit hitam menggendong anaknya keluar,
tiba2 terdengar suara dor...dor...dor....dor....
Perempuan itu langsung roboh, darah mengalir dari tubuhnya, bahkan seorang anak kecil yang digendongnya pun berlumuran
darah, ada lubang kecil di kepalanya yang mengucurkan darah begitu deras. Jibril kaget setengah mati, apa salah dan dosa ibu
dan anak ini koq sampai dibunuh sedemikian rupa, yang juga membuat Jibril kaget, ternyata tongkat itu yang digunakan
untuk membunuh, dan tidak perlu ditusukkan, Jibril tidak tahu alat apa lagi itu yang digunakan manusia untuk membunuh. Ah..dia
ingat, bukankah dulu sudah ada tongkat seperti itu, digunakan oleh orang2 Cina untuk pertunjukan kembang api dan akhirnya
untuk senjata.
Rumah demi rumah diobrak abrik, dan semua penghuninya dibunuh. Jibril shock berat, mengapa orang2 berkulit putih yang
berbahasa Arab ini membunuh orang2 kulit hitam ini. Galau menggelayut dalam diri Jibril, setitik airmata menunjukkan simpatinya,
Jibril bergetar, dan akhirnya terbang berkeliling. Tak jauh dari situ dia melihat kendaraan2 aneh berwarna putih yang belum
pernah dia lihat, mempunyai roda empat berwarna hitam bertuliskan UN di sampingnya. Jibril penasaran terdampar di daerah manakah
dia, koq manusia begitu tega membunuh sesamanya. Darfur..., ya daerah ini bernama Darfur, tertera di salah satu tenda yang
didiami oleh beberapa wanita dan anak2 berkulit hitam.
Jibril semakin sedih, di sebelah sana terlihat beberapa wanita berebutan air, dan di sebelah tenda seorang anak kurus
menangis, mulutnya dikerubuti lalat. Jibril kecewa, dia tidak mau liburannya rusak gara2 pemandangan ini. Dia segera terbang
setinggi2nya, mencoba mencari daerah lain yang mungkin lebih indah dan damai.
Untuk mengurangi sedihnya, Jibril bernyanyi lagu2 klasik Yunani, sayapnya digesek2an sehingga bersuara menyerupai kithara,
menyanyikan lagu2 moral yang dianjurkan oleh Plato dan Aristoteles. Melayang2 tak tentu arah di angkasa, Jibril berusaha lepas
dari pemandangan mengerikan yang baru saja dilihatnya. Setelah dirasa agak tenang, Jibril segera berpikir untuk melanjutkan
perjalanan nostalgianya. Kali ini dia tidak mau terdampar lagi di tempat yang salah. Setelah beberapa waktu berpikir, akhirnya
dia memilih Jerusalem sebagai persinggahan selanjutnya.
Kota yang indah itu, kota yang disucikan oleh tiga agama besar, tempat kelahiran Yesus, tempat istana besar Solomon
(Sulaiman) pernah dibangun, tempat dimana Muhammad pernah mengarahkan mukanya waktu sembahyang. Jerusalem pastilah tenang
dan damai, karena rahmat tiga agama yang dibawanya. Tempat yang bagus untuk mengisi liburan singkat Jibril di bumi.
Dari angkasa, Jibril segera melesat ke bawah sedikit ke arah utara dari tempatnya semula, utara...? ah Jibril tersenyum,
arah..? arah ya arah, khayalan manusia saja arah itu. Sama saja dengan batas, semesta ini tak berbatas, semakin luas malah,
mengembang ke segala arah. Atau juga langit, mana ada langit, manusia memang ada2 saja. Tapi Jibril memang maklum, sama Tuhan
manusia memang dibikin tidak terlalu pinter, wong sebodoh itu saja sudah keminter, apalagi kalau dibikin pinter. Walau kadang2
Jibril juga sedikit protes, kenapa Tuhan menyembunyikan identitas-Nya, memberi tahu manusia cuma setengah hati, celakanya
manusia sok tahu lagi.
Jibril langsung menuju bukit Zion, dimana sudah berdiri Masjid indah berkubah warna emas, Al-Aqsa. Ribuan tahun yg lalu,
Haikal Sulaiman pun tak kalah indahnya. Termangu di emperan masjid, Jibril melihat2 sekeliling. Tenteram dan tenang, adzan
berkumandang, menyambut mega kemerah2 an di ufuk. Jibril menyempatkan diri untuk ikut sholat berjamaah dengan manusia2 itu.
Menyelam sejenak dalam keagungan-Nya.
Seusai salam, Jibril segera terbang berkeliling, melihat dari sisi ke sisi, perubahan demi perubahan sewarna peradaban,
di sebuah kota yang menjadi sumbu kepercayaan. Di pinggir kota, Jibril melihat beberapa pemuda berlarian, sambil sesekali
melemparkan batu, terdengar suara riuh, dari seberangnya sebuah kendaraan besar dari besi dan beroda bergerigi panjang berjalan
pelan sambil sesekali memuntahkan suara2 mengerikan. Beberapa pemuda tergeletak berlumuran darah, teriakan Allahu Akbar bergema
dimana2, kendaraan dari besi itu semakin dekat dengan rumah2, beberapa manusia berpakaian hijau belang2 keluar dari
kendaraan besi itu dengan membawa tongkat yang sama dipergunakan oleh manusia di Darfur. Tongkat2 itu diarahkan ke rumah2
di sepanjang jalan itu, Jibril melihat beberapa jiwa memisahkan diri dari raga dan segera melayang2 di sekitar rumah.
Tontonan apa lagi ini, pikir Jibril. Belum lama dia melihat manusia berteriak2 Allahu Akbar membunuhi manusia lain, sekarang
dia melihat manusia2 berteriak Allahu Akbar yang dibunuh. Jibril semakin bingung, terbang melesat keluar kota, mencari tahu
apa yang terjadi di kota yang dianggap suci ini. Pemandangan di kota lain tidak lebih menyenangkan, kendaraan2 besar merusakkan
rumah2 dan wanita2 menangis, di sebelah sana Jibril melihat tembok yang panjang berkelok2 dan di sisi2nya dihiasi oleh kawat
berduri. Jibril semakin tidak mengerti, ada apa dengan manusia ini, bukankah setelah wahyu terakhir dibisikkannya ke Muhammad,
seharusnya manusia membangun jembatan, bukan tembok. Membangun persatuan, bukan perpecahan.
Jibril menangis lagi, kali ini tidak hanya setetes, deras seperti hujan musim gugur, sesenggukan dia meratapi misinya, sayap2nya
dikepakkan tanpa ritme, menimbulkan badai gurun. Hari tiba2 menjadi gelap, mendung2 bergulung membentuk rantai
menakutkan, Jibril dipanggil Yang Kuasa...
"Aku tidak akan kembali lagi ke bumi" sumpah Jibril dalam hati.