Jarum jam menunjuk angka 2, dingin sudah mulai membelai kulit dan meminta perhatian agar aku segera tidur. Aku sudah
memuaskan birahi Pak Reno, lelaki gendut kepala RT-ku. Dia berjalan terhuyung2 pulang ke rumahnya. Badannya bau sekali, mungkin
dia hanya mandi pada bulan Suro saja, nafasnya ngos2an seperti dikejar maling, dan rambutnya yang mulai memutih itu, sering
rontok kalau terkena tarikan, walaupun sedikit saja. kalau saja dia tidak membayar selembar ratusan ribu untuk "short attack",
aku tidak akan sudi melayaninya.
Oh ya..perkenalkan namaku kartini, aku memakai k (kecil) untuk namaku karena aku tidak mau menodai nama Ibu bangsa Indonesia
Raden Ajeng Kartini. Dia adalah idolaku sejak kecil, memang dia hanyalah seorang anak selir dari asisten Wedana*, tapi cita2nya
untuk membangun bangsaku sangat aku kagumi. Aku tak perduli walaupun dia akhirnya menyerah kepada nasib dengan menikahi seorang
bupati, bupati lagi bupati lagi.....aku jadi muak mendengar nama itu..seperti tidak ada nama lain saja di dunia ini. Bupati
yang berkuasa di wilayah yang cukup luas, disembah di sana sini, orang menyungkur kalau bupati lewat, bisa menikahi perempuan
lebih dari satu, bahkan mungkin sepuluh. Tetapi kebangsatan priyayi Jawa yang bertitel bupati ini juga tak kalah memuakkan,
dia akan menyungkur terhadap penggede2 kumpeni, bangsaku menyebut demikian. Hasil bargaining dari Verenigde Oost-Indische
Compagnie, bangsaku susah melafalkannya sehingga menyebut kumpeni dengan gampangnya.
Ibu Kartini memang menyerah terhadap tekanan terhadapnya, tapi aku toh menyerah juga pada tekanan yang menghimpitku.
Jadi sekali lagi aku tidak perduli, bagiku Kartini adalah pahlawanku. Tapi begitulah, namaku juga kartini, tentu saja tanpa
Raden Ajeng atau Raden Ayu di depannya, dulu waktu aku masih sekolah SD, aku dengan bangga menggunakan K besar di ujung namaku,
aku ingin menjadi seperti dia, menentang kelaliman laki2, berteriak melawan kemunafikan para priyayi2, berharap menghancurkan
budaya malu2 dan unggah-ungguh, mencoba mendidik wanita negeri untuk mampu mendongakkan wajah menghadap cerahnya kehidupan.
Tapi cita2 menjadi hanya sekedar cita2, seperti uap air yang akan segera menghilang membubung ke angkasa, berarak ke
sana kemari menawarkan diri. Aku tidak bisa lagi melanjutkan ke SMP, walapun rentetan nilaiku cukup menjanjikan. Aku termasuk
orang yang cukup cerdas, setidaknya itulah yang dibilang guru2 SD ku. Tapi beberapa lembar puluhan ribu tak ada pada diriku,
sehingga dengan sangat terpaksa aku mendekam di rumah, menyaksikan teman2 sebayaku memakai sepatu baru, celana baru, tas baru,
dan semua yang serba baru, cerah menjemput harapan. Kadang aku harus menangis, mengapa dunia ini terlalu jahat kepadaku, seorang
gadis kecil yang harus menabrak kenyataan pahit.
Setiap pagi aku harus bangun, membantu ibu memasak, dan kemudian ikut ke sawah membantu apa saja yang bisa kulakukan.
Sepetak tanah hasil warisan dari kakek itulah satu2nya harapan hidup kami. Itupun sering harus dibiarkan bero**karena pengairan
irigasi belum sampai menyentuh sawah kami.
Aku cukup cantik, tubuhku putih bersih, rambutku panjang berombak, mataku bulat disertai bola mata yang tajam, seperti
putri Bali kata ibuku. Dua tahun setelah aku lulus SD, datang seorang tetangga kami, Pak Dasad namanya, seorang tuan tanah.
Dia bilang terus terang pada orang tuaku agar diijinkan mengawiniku, sebagai gantinya sawah sebahu*** akan diberikan kepada
mereka. Ibuku dengan tegas menolak permintaan itu, bahkan dia menangis sesenggukan. Tapi bapak punya pendapat lain, dia setuju
dan bahkan meminta persyaratan tambahan dari Pak Dasad, tegalan yang di pinggir kali punya Pak Dasad pun dimintanya juga.
Malamnya terjadi perang besar antara bapak dan ibu, pertama kali dalam hidupku kulihat mereka begitu saling benci, saling
caci, sumpah serapah keluar semua. Aku hanya diam saja. Hatiku menangis, tapi aku tidak bisa berbuat apa2. Aku ingin lari
tetapi lari kemana. Aku hanya sesenggukan sendiri di kamar.
Besoknya aku sudah dipingit, tidak boleh keluar sama sekali. Rupanya bapak lebih superior daripada ibu, dan aku yang
harus menjalani derita dari zaman ke zaman ini.
Beberapa hari setelahnya pun aku menikah, sederhana dan kecil2 an, karena aku memang istri ke sekian dari Pak Dasad.
Dan malam petaka itupun datang, dengan nafsu Rahwana-nya Pak Dasad memperkosaku, ya dia memperkosaku. Sama sekali tidak ada
foreplay, sama sekali tidak ada kata2 sayang yang seharusnya sangat diharapkan oleh seorang perempuan. Alih2 tahu tentang
G-spot, bahkan setelah nafsu birahinya terpuaskan, diapun tidur terlelap dan mendengkur di sampingku.
Pernikahan kami tidak berlangsung lama, Pak Dasad adalah tipe yang ringan tangan. Pukulan sering mendarat di sekujur
tubuhku bila ada sesuatu yang menurut dia salah. Lama kelamaan aku tidak tahan lagi, akupun minta cerai. Permintaanku dikabulkannya,
tetapi masalah tidak berhenti di situ, aku hamil anaknya. Untuk menghindari malu, aku langsung mengungsi ke daerah perkotaan.
Dimana berlaku filosofi hidupmu adalah hidupmu dan hidupku adalah hidupku.
Dan lahirlah Dara, mungil dan cantik, waktu lahir beratnya hanya 2,7 kg. Aku memberi nama demikian, karena aku ingin
dia bisa terbang bebas seperti burung dara(merpati=red), menemukan soul mate-nya dan hidup bahagia selama2nya. Untuk menghidupi
Dara, aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Siang hari aku bekerja, dan malam hari aku merawat Dara. Untung siang
hari ada seorang nenek sebelah kos2anku yang rela menunggui Dara tanpa bayaran sepeserpun.
Suatu saat aku ketiduran saat memasak, lelah sekali karena Dara rewel terus semalaman, dan panci tempat aku masak itupun
hangus dan terbakar. Aku mendapat marah besar dan seketika itu pula dipecat dari jabatan pembantu rumah tangga.
Mencari pekerjaan susah sekali, jangankan untuk aku yang hanya lulusan SD, para sarjana2 yang telah bertitel berjejer,
dan yang menghabiskan puluhan juta untuk studinya saja harus berlari pontang-panting ke sana kemari mencari sesuap nasi.
Dara kena demam, aku tidak ada uang sama sekali, aku pinjam kesana kemari tidak ada yang mau meminjami, Dara menangis
saja tanpa henti, aku sampai pusing mendengarnya. Tiba2 pintu kosku dibuka, aku kaget, Pak Budi, tetanggaku yang ganteng itu
masuk tanpa permisi. DIa menawarkan untuk membawa Dara ke dokter terdekat, tetapi meminta imbalan tubuhku. Aku bimbang memilih
antara nilai harga diri dan kecintaan kepada anak. Akhirnya aku memilih yang kedua. Itulah pertama kali aku menjual tubuhku
untuk beberapa lembar puluhan ribu. Pekerjaan ringan sebenarnya, walau hati ini pedih. Tetapi aku tidak punya pilihan lain.
Dan menjadi perempuan penjual cinta pun menjadi pekerjaanku sejak itu. Aku tidak tahu kenapa, namaku cepat sekali menyebar
di kalangan underground pria hidung belang. Kebanyakan memang pria baik2 yang menjadi langgananku, tetapi juga tak jarang
pula para bangkotan tengik itu yang menikmati tubuhku.
Dara sudah umur 3 tahun sekarang, sudah mulai ceriwis, rasa ingin tahunya semakin besar, dan sudah mulai kelihatan tanda2
kecantikan yang ia warisi dariku.
"Mama, kenapa setiap hari selalu ada orang kesini..?, apakah mereka menyakiti mama..?"
"Dara sayang, mereka tidak menyakiti mama, mereka justru membantu mama, untuk membeli makanan dan menyekolahkan Dara
tahun depan"
"Mama, jadi apakah aku nanti..?"
Aku kaget, dan airmataku meleleh.
" Dara akan jadi Kartini yang tidak pernah menyerah"
* wedana : pemimpin dari kumpulan beberapa kecamatan,
setingkat di bawah bupati
**bero : tanah puso/tidak digarap
*** sebahu : seperempat hektar